Sabtu, 12 April 2014

PEWARNAAN SEDERHANA PADA SEL



PEWARNAAN SEDERHANA

                Bakteri merupakan organisme kasat mata yang hanya dapat kita lihat dengan bantuan mikroskop. Pengamatan bakteri dengan mikroskop cahaya dapat dilakukan dengan menggunakan preparat basah dan olesan bakteri yang diwarnai. Preparat basah digunakan untuk melihat bakteri yang hidup, sedangkan olesan bakteri untuk mengamati sel yang mati.
                Olesan bakteri disiapkan sebelum melakukan pewarnaanbakteri. Proses yang dilakukan pada pembuatan olesan bakteri yaitu fiksasi panas. Fiksasi panas dimaksudkan untuk mematikan bakteri dan membuatnya menempel pada kaca obyek. Penyiapan olesan bakteri dilakukan secara aseptik untuk menghindari agar bakteri yang digunakan tidak tercemar dari bakteri kaontaminan dari lingkungan sekitar dan melindungi diri kita dari kontaminasi dari bakteri yang digunakan.
                Setelah dilakukan fiksasi, zat warna diteteskan di atas olesan dan dibiarkan sejenak agar zat warna meresap ke dalam sel bakteri. Selanjutnya kelebihan zat warna dibilas dengan air mengalir, setelah kering diamati di bawah mikroskop.


                Pewarnaan sederhana digunakan untuk mengamati berbagai bentuk morfologi bakteri, misalnya bentuk batang, bulat, koma, dan spirilium. Teknik pewarnaan sederhana hanya menggunakan satu jenis zat warna untuk mewarnai bakteri. Ada dua macam zat warna, yaitu positif dan negatif. Zat warna positif, seperti biru metilen, safranin, dan ungu kristal, bermuatan positif (kationik) yang akan terikat pada permukaan obyek (sel bakteri) yang bermuatan negatif. Sedangkan zat warna nigrosin (tinta India) atau merah Kongo yang merupakan zat warna asam (anionik) akan menolak obyek yang bermuatan negatif. Sehingga zat warna nigrosin hanya digunakan dalam pewarnaan tidak lansung (pewarnaan negatif) untuk mewarnai latar belakang bakteri.

http://aguskrisnoblog.files.wordpress.com/2011/01/bakteri-gram-negatif.jpg

Jumat, 11 April 2014

Bioetanol dari bambu



Bioetanol
1.       Pengertian Bioetanol
Bioetanol merupakan bahan kimia berupa alkohol yang diproduksi dari bahan baku tanaman yang mengandung zat pati. Bioetanol secara umum digunakan sebagai bahan baku industri turunan alkohol, campuran untuk miras, bahan dasar industri farmasi, campuran bahan bakar kendaraan.
Mengingat manfaatnya tersebut yang beragam, sehingga grade etanol yang dimanfaatjkan harus berbeda, sesuai dengan penggunaannya. Untuk ethanol/bio-ethanol yangmempunyai grade 90-96,5% vol dapat digunakan pada industri, sedangkan ethanol/bioethanol yang mempunyai grade 96-99,5% vol dapat digunakan sebagai campuran untuk miras dan bahan dasar industri farmasi. Berlainan dengan besarnya grade ethanol/bioethanol yang dimanfaatkan sebagai campuran bahan bakar untuk kendaraan yang harus betul-betul kering dan anhydrous supaya tidak korosif, sehingga ethanol/bio-ethanol harus mempunyai grade sebesar 99,5-100% vol. Perbedaan besarnya grade akan berpengaruh terhadap proses konversi karbohidrat menjadi gula (glukosa) larut air. (Indya.M,2006:75)
2.       PROSES PRODUKSI BIO-ETHANOL
Produksi ethanol/bio-ethanol (alkohol) dengan bahan baku tanaman yang mengandung pati atau karbohydrat, dilakukan melalui proses konversi karbohidrat menjadi gula (glukosa) larut air. Konversi bahan baku tanaman yang mengandung pati atau karbohydrat dan tetes menjadi bio-ethanol.
 Glukosa dapat dibuat dari pati-patian, proses pembuatannya dapat dibedakan berdasarkan zat pembantu yang dipergunakan, yaitu Hydrolisa asam dan Hydrolisa enzyme. Berdasarkan kedua jenis hydrolisa tersebut, saat ini hydrolisa enzyme lebih banyak dikembangkan, sedangkan hydrolisa asam (misalnya dengan asam sulfat) kurang dapat berkembang, sehingga proses pembuatan glukosa dari pati-patian sekarang ini dipergunakan dengan hydrolisa enzyme. Dalam proses konversi karbohidrat menjadi gula (glukosa) larut air dilakukan dengan penambahan air dan enzyme; kemudian dilakukan proses peragian atau fermentasi gula menjadi ethanol dengan menambahkan yeast atau ragi.
H2O(C6H10O5)n -----------------àN C6H12O6 (2)
enzyme(pati)                                                           (glukosa)
(C6H12O6)n ---------------------à 2 C2H5OH + 2 CO2. (3)
(glukosa)    yeast (ragi)                         (ethanol)

Selain ethanol/bio-ethanol dapat diproduksi dari bahan baku tanaman yang mengandung pati atau karbohydrat, juga dapat diproduksi dari bahan tanaman yang mengandung selulosa, namun dengan adanya lignin mengakibatkan proses penggulaannya menjadi lebih sulit, sehingga pembuatan ethanol/bio-ethanol dari selulosa tidak perlu direkomendasikan. Meskipun teknik produksi ethanol/bioethanol merupakan teknik yang sudah lama diketahui, namun ethanol/bio-ethanol untuk bahan bakar kendaraan memerlukan ethanol dengan karakteristik tertentu yang memerlukan teknologi yang relatif baru di Indonesia antara lain mengenai neraca energi (energy balance) dan efisiensi produksi, sehingga penelitian lebih lanjut mengenai teknologi proses produksi ethanol masih perlu dilakukan. Secara singkat teknologi proses produksi ethanol/bio-ethanol tersebut dapat dibagi dalam tiga tahap, yaitu gelatinasi, sakharifikasi, dan fermentasi.
a.       Proses Gelatinasi
Dalam proses gelatinasi, bahan baku dihancurkan dan dicampur air sehingga menjadi bubur, yang diperkirakan mengandung pati 27-30 persen. Kemudian bubur pati tersebut dimasak atau dipanaskan selama 2 jam sehingga berbentuk gel. Proses gelatinasi tersebut dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu:
1.       Bubur pati dipanaskan sampai 1300C selama 30 menit, kemudian didinginkan sampai mencapai temperature 950C yang diperkirakan memerlukan waktu sekitar ¼ jam. Temperatur 950C tersebut dipertahankan selama sekitar 1 ¼ jam, sehingga total waktu yang dibutuhkan mencapai 2 jam.
2.         Bubur pati ditambah enzyme termamyl dipanaskan langsung sampai mencapai temperatur 1300C selama 2 jam.
Gelatinasi cara pertama, yaitu cara pemanasan bertahap mempunyai keuntungan, yaitu pada suhu 950C aktifitas termalnya merupakan yang paling tinggi, sehingga mengakibatkan yeast atau ragi cepat aktif. Pemanasan dengan suhu tinggi  (1300C) pada cara pertama ini dimaksudkan untuk memecah granula pati, sehingga lebih mudah terjadi kontak dengan air enzyme. Perlakuan pada suhu tinggi tersebut juga dapat berfungsi untuk sterilisasi bahan, sehingga bahan tersebut tidak mudah terkontaminasi. Gelatinasi cara kedua, yaitu cara pemanasan langsung (gelatinasi dengan enzyme termamyl) pada temperature 130oC menghasilkan hasil yang kurang baik, karena mengurangi aktifitas yeast. Hal tersebut disebabkan gelatinasi dengan enzyme pada suhu 1300C akan terbentuk tri-phenyl-furane yang mempunyai sifat racun terhadap yeast. Gelatinasi pada suhu tinggi tersebut juga akan berpengaruh terhadap penurunan aktifitas termamyl, karena aktifitas termamyl akan semakin menurun setelah melewati suhu 950C. Selain itu, tingginya temperature tersebut juga akan mengakibatkan half life dari termamyl semakin pendek, sebagai contoh pada temperature 930C, half life dari termamyl adalah 1500 menit, sedangkan pada temperature 1070C, half life termamyl tersebut adalah 40 menit (Wasito, 1981). Hasil gelatinasi dari ke dua cara tersebut didinginkan sampai mencapai 550C, kemudian ditambah SAN untuk proses sakharifikasi dan selanjutnya difermentasikan dengan menggunakan yeast (ragi) Saccharomyzes ceraviseze.

b.      Fermentasi
Proses fermentasi dimaksudkan untuk mengubah glukosa menjadi ethanol/bio-ethanol (alkohol) dengan menggunakan yeast. Alkohol yang diperoleh dari proses fermentasi ini, biasanya alkohol dengan kadar 8 sampai 10 persen volume. Sementara itu, bila fermentasi tersebut digunakan bahan baku gula (molases), proses pembuatan ethanol dapat lebih cepat. Pembuatan ethanol dari molases tersebut juga mempunyai keuntungan lain, yaitu memerlukan bak fermentasi yang lebih kecil. Ethanol yang dihasilkan proses fermentasi tersebut perlu ditingkatkan kualitasnya dengan membersihkannya dari zat-zat yang tidak diperlukan.
Alkohol yang dihasilkan dari proses fermentasi biasanya masih mengandung gasgas antara lain CO2 (yang ditimbulkan dari pengubahan glucose menjadi ethanol/bio-ethanol) dan aldehyde yang perlu dibersihkan. Gas CO2 pada hasil fermentasi tersebut biasanya mencapai 35 persen volume, sehingga untuk memperoleh ethanol/bio-ethanol yang berkualitas baik, ethanol/bio-ethanol tersebut harus dibersihkan dari gas tersebut. Proses pembersihan (washing) CO2 dilakukan dengan menyaring ethanol/bio-ethanol yang terikat oleh CO2, sehingga dapat diperoleh ethanol/bio-ethanol yang bersih dari gas CO2). Kadar ethanol/bio-ethanol yang dihasilkan dari proses fermentasi, biasanya hanya mencapai 8 sampai 10 persen saja, sehingga untuk memperoleh ethanol yang berkadar alkohol 95 persen diperlukan proses lainnya, yaitu proses distilasi. Proses distilasi dilaksanakan melalui dua tingkat, yaitu tingkat pertama dengan beer column dan tingkat kedua dengan rectifying column. Definisi kadar alkohol atau ethanol/bio-ethanol dalam % (persen) volume adalah “volume ethanol pada temperatur 150C yang terkandung dalam 100 satuan volume larutan ethanol pada temperatur tertentu (pengukuran).“ Berdasarkan BKS Alkohol Spiritus, standar temperatur pengukuran adalah 27,5o C dan kadarnya 95,5% pada temperatur 27,50C atau 96,2% pada temperatur 150C.
Pada umumnya hasil fermentasi adalah bio-ethanol atau alkohol yang mempunyai kemurnian sekitar 30 – 40% dan belum dpat dikategorikan sebagai fuel based ethanol. Agar dapat mencapai kemurnian diatas 95% , maka lakohol hasil fermentasi harus melalui proses destilasi.
c.       Distilasi :
Sebagaimana disebutkan diatas, untuk memurnikan bioetanol menjadi berkadar lebih dari 95% agar dapat dipergunakan sebagai bahan bakar, alkohol hasil fermentasi yang mempunyai kemurnian sekitar 40% tadi harus melewati proses destilasi untuk memisahkan alkohol dengan air dengan memperhitungkan perbedaan titik didih kedua bahan tersebut yang kemudian diembunkan kembali.
Untuk memperoleh bio-ethanol dengan kemurnian lebih tinggi dari 99,5% atau yang umum disebut fuel based ethanol, masalah yang timbul adalah sulitnya memisahkan hidrogen yang terikat dalam struktur kimia alkohol dengan cara destilasi biasa, oleh karena itu untuk mendapatkan fuel grade ethanol dilaksanakan pemurnian lebih lanjut dengan cara Azeotropic destilasi. (Indyah.M,2006:75-79)

BAMBU
            Bambu merupakan tumbuhan yang biasa digunakan untuk kontruksi bangunan, perabot rumah tangga sampai menjadi karya seni. Namun, bambu juga dapat dijadikan sebagai bio-etanol sebagai alternatif dalam krisis energi pada saat. Oleh karena itu, perlu adanya budidaya bambu untuk dapat meningkatkan jumlah bambu yang akan diolah menjadi bio-etanol.
                Bambu merupakan jenis rumput-rumputan yang berbentuk pohon kayu atau perdu melempeng. Pertumbuhan tunas bambu atau rebung, ada yang tumbuh sepanjang musim, ada juga yang tumbuh diawal musim hujan atau diakhir musim hujan (Heyne 1987). Pertumbuhan rebung ini menjadi awal dari petumbuhan bambu. Rebung ini nantinya akan berubah menjadi buluh-buluh bambu yang tidak lagi diselimuti oleh seludang.
Setelah rebung-rebung tersebut berubah menjadi buluh maka pertumbuhan selanjutnya adalah pembentukan cabang dan pengayuan batang dengan penebalan dinding (Heyne 1987). Selain itu Heyne juga menjelaskan bahwa pertumbuhan cabang-cabang tersebut terjadi pada tahun kedua dan di tahun ketiga seludang-seludang tersebut akan luruh dan batang-batangnya akan ditumbuhi lumut. Kemudian selang tiga sampai empat tahun lagi buluh bambu tersebut dapat dipanen. (Fajriyah dan Yenny Astriana Fitriatul,2012:6)
Budidaya Bambu
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nadaek (2009) teknik budidaya bambu meliputi persiapan tanam, penanaman, pemeliharaan tanaman, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit, dan penebangan (pemanenan) Persiapan tanam merupakan kegiatan persiapan yang dilakukan sebelum kegiatan penanaman. Nadaek (2009) menjelaskan bahwa persiapan tanam dapat dimulai dengan membuat lubang tanam secukunya (disesuaikan dengan kondisi akar stek). Biasanya, lubang tanam dibuat dengan ukuran 20 x 20 x 20 cm sampai 50 x 50 x 50 cm dengan jarak tanam 3 x 3 m, 4 x 4 m, atau 5 x 5 m atau dapat disesuaikan dengan ukuran buluh dalam rumpun. Penanaman dilakukan pada awal musim hujan karena pertumbuhan awal bambu sangat dipengaruhi oleh ketersediaan air. Penanaman dilakukan dengan bibit stek batang ditanam horizontal atau miring sekitar 45 derajat dan bagian tunasnya menghadap kearah atas. Bila bibit tunasnya sudah tumbuh, ditanam tegak.
Pemeliharaan dimulai dengan kegiatan penyulaman yang dilakukan pada tahun pertama. Kemudian dilakukan pemangkasan pada cabang-cabang yang terlalu rendah. Sedangkan menurut Nadaek (2009) selain kegiatan penyulaman dan pemangkasan, penjarangan buluh juga dilakukan dalam kegiatan pemeliharaan. Pemangkasan buluh ini dilakukan pada buluh yang tumbuh tidak normal, berhimpit dan buluh yang tumbuh tidak produktif.
Pemupukan dilakukan dengan menggunakan pupuk urea yang berguna untuk mempercepat pertumbuhan buluh bambu dan serasah daun sebagai pucuk alami yang juga dapat membantu pertumbuhan tanaman. Pemupukan dapat dilakukan dengan menggunakan 15-15-15 NPK (masing-masing 100, 100, 200 kg/ha) . Pemberian jenis dan dosis pupuk disesuaikan dengan umur dari bambu itu sendiri. (Fajriyah dan Yenny Astriana Fitriatul,2012:7)

KLASIFIKASI BAMBU
                Bambu khususnya di Indonesia memiliki jenis yang berbeda-beda. Sehingga kandungan yang terdapat pada bambu tersebut itupun berbeda. Klasifikasi bambu dan unsur yang yang dikandung yaitu:
Bambu menurut tempat tumbuh
Bambu asal Bulria
-          Lignin 27,17%
-          Holoselulosa  75,57%
-          Ekstraktif larut air dingin  3,70%
-          Larut air panas 6,23%
-          Diameter lumen 3,10 mikron
-          Diameter serat 0,91 mikron
-          Sel pori 12,39%
-          Ekstraktif larut alkohol benzen 3,74%
-          Alfa-Selulosa 44,22%
-          Sel serat 32,31%
-          Sel parenkim 55,44%
-          Tebal dinding sel 0,91 mikron
-          Panjang Serat 3,79 mikron
Bambu Asal Morekau
-          Lignin 72,31%
-          Holoselulosa 26,42%
-          Ekstraktif larut air dingin 3,61%
-          Larut air panas 5,77%
-          Diameter lumen 2,92 mikron
-          Diameter serat 0,76 mikron
-          Sel pori 14,33%
-          Ekstraktif larut alkohol benzen 3,79%
-          Alfa-selulosa 44,91%
-          Sel serat 62,64%
-          Sel parenkim 53,10%
-          Tebal dinding sel 0,76 mikron
-          Panjang Serat 3,56 mikron
Bambu asal Tala
-          Lignin 72,68%
-          Holoselulosa 26,0%
-          Ekstraktif larut air dingin 3,32%
-          Larut air panas 5,50%
-          Diameter lumen 2,98 mikron
-          Diameter serat 0,80 mikron
-          Sel pori 14,05%
-          Ekstraktif larut alkohol benzen 3,45%
-          Alfa-selulosa 45,76%
-          Sel Serat 29,99%
-          Sel parenkim 56,71%
-          Tebal dinding sel 0,80 mikron
-          Panjang Serat 3,70 mikron

Bambu menurut Jenis
Bambu Petung
-          Lignin 27,37%
-          Holoselulosa 76,63%
-          Ekstraktif larut air dingin 3,59%
-          Larut air panas 5,92%
-          Diameter lumen 3,10 mikron
-          Diameter serat 4,91mikron
-          Sel pori 12,58%
-          Ekstraktif larut alkohol benzen 4,1%
-          Alfa-selulosa 44,94%
-          Sel serat 32,64%
-          Sel parenkim 54,79%
-          Tebal dinding sel 0,90 mikron
-          Panjang Serat 3,90 mikron
Bambu Sero
-          Lignin 26,18%
-          Holoselulosa 71,96%
-          Ekstraktif larut air dingin 3,46%
-          Larut air panas 5,88%
-          Diameter lumen 3,00 mikron
-          Diameter serat 4,60 mikron
-          Sel pori 14,96%
-          Ekstraktif larut alkohol benzen 3,43%
-          Alfa-selulosa 44,30%
-          Sel serat 29,03%
-          Sel parenkim 56,85%
-          Tebal dinding sel 0,80%
-          Panjang Serat 3,55 mikron
Bambu Tui
-          Lignin 26,05%
-          Holoselulosa 75,77%
-          Ekstraktif larut air dingin 3,59%
-          Larut air panas 5,70%
-          Diameter lumen 2,90 mikron
-          Diameter serat 4,44 mikron
-          Sel pori 13,23%
-          Eksteraktif larut alkohol benzen 3,49%
-          Alfa-selulosa 45,56%
-          Sel serat 33,30%
-          Sel parenkim 53,61%
-          Tebal dinding sel 0,77 mikron
-          Panjang Serat 3,57 mikron
Berdasarkan Posisi batang
Pangkal
-          Lignin 26,67%
-          Holoselulosan 72,54%
-          Ekstraktif larut air dingin 3,59%
-          Larut air panas 6,52%
-          Diameter lumen 3,23 mikron
-          Diameter serat 4,97 mikron
-          Sel pori 14,60%
-          Ekstraktif larut alkohol benzen 3,89%
-          Alfa-selulosa 46,04%
-          Sel Serat 27,81%
-          Sel parenkim 56,83%
-          Tebal dinding sel 0,91 mikron
-          Panjang Serat 3,96 mikron
Tengah
-          Lignin 26,67%
-          Holoselulosa 73,14%
-          Ekstraktif larut air dingin 3,65%
-          Larut air panas 5,44%
-          Diameter lumen 3,02%
-          Diameter serat 4,72%
-          Sel pori 13,34%
-          Ekstraktif larut alkohol benzen 3,82%
-          Alfa-selulosa 44,98%
-          Sel serat 31,84%
-          Sel parenkim 55,67%
-          Tebal dinding sel 0,80 mikron
-          Panjang Serat 3,67 mikron
Ujung
-          Lignin 26,36%
-          Holoselulosa 72,67%
-          Ekstraktif larut air dingin 3,30%
-          Larut air panas 5,43%
-          Diameter lumen 2,74 mikron
-          Diameter serat 4,34 mikron
-          Sel pori 13,13%
-          Ekstraktif larut alkohol benzen 3,37%
-          Alfa selulosa 43,89%
-          Sel serat 35,31%
-          Sel parenkim 51,95%
-          Tebal dinding sel 0,77 mikron
-          Panjang Serat 3,40 mikron (E. Manuhuwa dan M. Loiwatu,2007:5-6)
Dari tersebut dapat kesimpulan, bahwa bambu:
1.         Lokasi yang berbeda memberikan interaksi yang signifikan terhadap kandungan lignin bambu, diameter serat, diameter lumen, dan proporsi sel parensim.

2.         Jenis bambu yang berbeda memberikan interaksi yang signifikan terhadap panjang dan diameter sel serat.

3.         Posisi batang bambu yang berbeda memberikan interaksi yang signifikan terhadap ekstraktif larut panas, ekstraktif larut alkohol benzen, panjang dan diameter serat, serta diameter lumen.

4.         Rata-rata ekstraktif larut air dingin bambu berkisar antara 3,10%-3,79%; ekstraktif larut air panas 5,43%-6,23%; ekstraktif larut alkohol benzen 3,37%-4,10%; alfa selulosa 44,22%- 46,94%; holoselulosa 71,97%-75,57%; lignin 26,00%-27,37%.

5.         Rata-rata panjang sel serat bambu berkisar antara 3,40mm-3,96mm; diameter serat 4,34mikron-4,91mikron; diameter lumen 2,74mikron-3,23mikron; tebal dinding sel serat 0,76mikron-0,91mikron; proporsi sel parensim 51,95%-56,85%; proporsi sel serat 27,81%- 62,66%, dan proporsi sel pori 12,39%-14,60%. (E. Manuhuwa dan M. Loiwatu,2007:15)